Pondok Pesantren seringkali dikonotasikan sebagai kelompok
masyarakat yang kurang peka dalam menghadapi kemajuan dan perkembangan
teknologi, bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Padahal pondok
pesantren memiliki potensi yang sangat luar biasa bila dibekali pengetahuan dan
keterampilan pengelolaan teknologi dalam berkontribusi penyebaran informasi
atau dawah bernuansa Islam dengan semangat “amal ma’ruf nahi munkar”.
Literarur yang luas serta kompleksnya kehidupan pesanten merupakan aset untuk
dikembangkan teknologi disana.
Ada banyak kendala yang
dihadapi saat ide pengembangan teknologi di pesantren digalakkan. Diantara
kendala yang banyak dihadapi menurut data Kementrian Agama dalam pengembangan
teknologi di pondok pesantren adalah masih terbatasnya sumber daya terutama
sumber daya manusia, dana dan infrastruktur pendukung, selain karena adanya
penolakan atau kekhawatiran di sebagian komunitas pondok pesantren yang
didasarkan pada penafsiran yang berbeda tentang perlunya implementasi teknologi
di Pondok Pesantren.
Beragam efek negatif yang
ditimbulkan oleh teknologi, seperti beredarnya video dan gambar tak layak
tonton atau penyalahgunaan handphone
juga menjadi salah satu alasan dilarangnya teknologi masuk ke pesantren. Di
sisi lain pesantren terus mengalami perubahan terkait dengan perubahan
social dan perubahan peraturan perundang-undangan.
Khusus, setelah
diundangkannya Undang Undang (UU) Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa
secara kelembagaan, pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
madrasah, wajib mengikuti standar kurikulum secara nasional sebagaimana
ketetapan UU. Ini artinya, pendidikan di pondok pesantren (madrasah) sudah
tidakbisa dibedakan dengan sekolah umum semacam SMA, sama-sama
membuka jurusan IPA, IPS, Bahasa dan Keterampilan, pada tingkat sekolah
menengah.
Mencermati perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kini dan mendatang disertai dengan
perkembangan kebudayaan, maka pendidikan pesantren tidak harus mengesampingkan
pendidikan teknologi informasi (TI), terutama dalam menumbuhkan Islamic
technological-attitude (sikap berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan
berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas
untuk memahami perangkat elektronik teknologi.
Apalagi tatkala
pengembangan teknologi di pesantren tercapai, tentu akan berimbas positif pada
banyak pihak. Tidak hanya bagi pesantren, tapi juga penyedia jasa teknologi.
Penyedia jasa teknologi tentu akan bisa membuka banyak pasar baru bila
pesantren mau menerima teknologi.
Bayangkan bila 25.785
pesantren di Indonesia (sesuai data Kementrian Agama pada tahun 2009/2010) mau
menerima kemajuan teknologi, alangkah besar pasar bisnis disana. Walau tentu
tidak semuanya pada saat ini merem teknologi, tapi dalam satu pesantren saja
bisa menampung ribuan santri.
Namun meski semikian,
tentu saja kebutuhan teknologi pesantren berbeda dengan khalayak umum.
Penyortiran terhadap situs-situs tak layak tonton, serta kemudahan dalam
mengakses situs-situs islami harus dilakukan melalui komputer
jinjing. Disamping itu kampanye terhadap pentingnya teknologi dan workshop
pembinaan teknologi di pesantren mutlak dilakukan untuk mewujudkan hal
tersebut. Pembekalan keilmuan teknologi terhadap ustadz/ustadzah serta para
santri pastinya akan lebih mempermudah perwujudan hal tersebut.
Kerjasama dengan banyak
lini perlu dilakukan untuk memudahkan perwujudan pesantren melek teknologi.
Dukungan dari Kementerian Agama bidang pondok pesantren tentu akan sangat
membantu. Juga kerjasama dengan organisasi-organisasi pemerintah dan masyarakat
terkait lainnya, termasuk organisasi yang peduli pendidikan dan teknologi. Hal
tersebut dikarenakan dengan pola komunikasi yang lebih nyantri, diharapkan Kiai
masing-masing pesantren bisa lebih mudah menerima ide tersebut. Disamping juga
suplaian dana oleh masing-masing pihak yang berhubungan dengan pesantren.
Bila berangan jauh,
nantinya diproyeksikan para ustadz/ustadzah dan santri tidak hanya menjadi
pengguna tapi juga membuat produk. Karya-karya tulis, web/blog dan media
pembelajaran bisa diciptakan dengan memanfaatkan teknologi. Pengarsipan
data-data pesantren bisa ditata lebih rapi. Lebih-lebih bila ustadz/ustadzah
maupun santri bisa membuat program-program aplikasi yang memudahkan dalam
pengembangan ilmu keislaman. Diantara contoh yang sudah ada adalah, maktabah syamilah
(perpustakaan digital kitab-kitab arab),aplikasi-aplikasi penghitungan
kitab-kitab hisab/falak dan lain sebagainya.
Selain hal tersebut, bila
para santri bisa menguasai teknologi lebih mendalam maka nantinya akan menjadi
ketrampilan hidup. Keahlian yang dimikinya perihal teknologi bisa dimanfaatkan
untuk dirinya pribadi, agama bahkan negaranya. Pengangguran yang menjadi
problematika negara kita bisa terminimalisir dengan keahlian tersebut. Bahkan
ia bisa membuat usaha yang menampung banyak pekerja jika mau mengembangkannya.
Apabila terjadi demikian maka ilmu-ilmu gama yang ia peroleh akan mudah
disalurkan lewat e-book atau karya lainnya yang berbasis teknologi.
Mengapa kita harus
sebegitu peduli dengan pesantren? Karena bagaimanapun juga, pesantren
merupakan subkultur dari masyarakat kita. Disamping bergerak dibidang
pendidikan dan agama, pesantren juga sangat menjunjung tinggi nilai moral dan
spiritual, yang mana hal tersebut menjadi dahaga pada kehidupan bangsa saat
ini. Disana sedang hidup dan berjuang para penerus bangsa yang jumlahnya
mencapai 3,65 juta jiwa.
Membiarkan mereka
tertinggal teknologi sama saja membuat polisi moral di ranah sosial kita
tertinggal pula. Apa jadinya bangsa kita bila polisi moral yang tinggi
derajatnya di mata sosial masyarakat ternyata buta dengan teknologi, yang
pastinya nanti akan tertinggal dalam banyak perkembangan dan informasi. Maka
perlu kita sadari, bahwa membuat kaum pesantren ‘melek’ teknologi merupakan
tanggung jawab kita bersama. Karena teknologi itu memudahkan dan membuat kita
semakin peduli. wallahu a’lam bisshawab.
* Artikel ini
diikutsertakan pada Lomba Menulis Teknologi yang diselenggarakan www.priceare.com