Menjadi seorang mahasiswa
di kota besar merupakan suatu tantangan yang sangat berat bagi kaum santri. Selama
bertahun-tahun hidup dalam lingkup yang terisolir dan terkarantina harus berhadapan dengan kerasnya dunia kota yang penuh persaingan dan hedonisme.
Melihat realita yang
terjadi di kampus yang banyak dipenuhi kaum santri saja, ketika perkuliahan
sudah menginjak bangku semester 2 maka hamper tak ada perbedaan antara kaum
santri dan yang bukan santri. Hedonisme yang menawarkan nikmat sesaat
benar-benar telah menggoda kaumsantri sehingga harus menjual idealism
kesantriannya dengan sebuah pola hidup baru, hidup suka-suka.
Sungguh amat disayangkaan,
pesantren yang menjadi garda terdepan dalam pengembangan islamdi Indonesia ternyata
hanya menghasilkan produk yang punya daya tahan yang ‘lemah’ dalam memegang
sebuah prinsip Islam. Bisa dibayangkan bagaimana nasib Islam kedapan bila calon
pemimpin-pemimpinnya di masa depan saat mudanya hanya bersenang-senang tanpa
adanyaupaya megembangkan agamanya.
Bila kita merunut sejarah
sebenarnya pesantren merupakan sebuah lembaga yang punya jasa besar dalam
pembangunan bangsa. Mulai masa-masa kemerdekaan hingga era reformasi sekarang
ini. Peran yang pada awalnya dekat dekat dengan kekuasaan yang saat itu masih
berbentuk kerajaan semakin terpinggirkan ke pedesaan-pedesaan karena faktor
kolonialisme.
Pesantren merupakan salah
satu unsur penting dalam dinamika historis bangsa Indonesia. Secara
historis, pesantren telah “mendokumentasikan” berbagai peristiwa penting bangsa
Indonesia, baik sejarah sosial, budaya, ekonomi maupun politik bangsa
Indonesia.
Sebagai lembaga
pendidikan, peran utama pesantren tentu saja menyelenggarakan pendidikan
keislaman kepada para santri. Namun, dari masa ke masa, pesantren tidak hanya
berperan dalam soal pendidikan, tetapi juga peran-peran sosial bagi masyarakat
di sekitarnya.
Salah satu peran penting
pesantren dalam sejarah perjalanan bangsa ini adalah keterlibatannya dalam
perjuangan melawan penjajah. Ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela
Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai dan santri mendirikan tentara
Hizbullah. Bambu Runcing yang terkenal sebagai senjata para pejuang kemerdekaan
adalah inisiatif dari Kiai Subeki atau Mbah Subki yang kemudian diabadikan
sebagai nama pesantren, yakni Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan,
Temanggung, Jawa Tengah.
Dalam autobiografinya, Berangkat
dari Pesantren (Gunung Agung, 1984), mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri
antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota
Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman –yang
belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap.
Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Menurut Wahjoetomo dalam Perguruan
Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan (Gema Insani Press, 1997)
seperti dikutip Asyuri (2004), masyarakat pesantren mengadakan aksi terhadap
Belanda dengan tiga macam. Pertama, uzlah (mengasingkan diri). Mereka
menyingkir ke desa-desa dan tempat terpencil yang jauh dari jangakauan
kolonial. Maka tidak aneh bila pesantren mayoritas berada di desa-desa yang
bebas dari polusi dan kontaminasi oleh budaya hedonisme, kepalsuan, dan
keserakahan.
Kedua, bersikap nonkooperatif
dan melakukan perlawanan secara diam-diam. Selain mengaji atau menelaah kitab
kuning, para kyai menumbuhkan semangat jihad santri-santrinya untuk membela
Islam dan menentang penjajah. Bahkan saat itu para kyai melarang santrinya
untuk memakai pakaian yang berbau Barat atau penjajah seperti santri dilarang
memakai celana panjang, dasi, sepatu dan sebagainya.
Ketiga, memberontak dan
mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Dalam perspektif sejarah, pesantren
sering mengadakan perlawanan secara silih berganti selama berabad-abad, untuk
mengusir Belanda dari bumi Indonesia. Seperti kita kenal nama Pangeran
Antasari, Sultan Hasanudin, Sultan Agung, Pattimura dan sebagainya. Beberapa
pemberontakan yang dipelopori oleh kaum santri antara lain adalah pemberontakan
kaum Padri di Sumatara Barat (1821-1828) yang dipelopori kaum santri di
bawah pimpinan tuanku Imam Bonjol; pemberontakan Pangeran Diponegoro di
Jawa Tengah (1828-1830); Pemberontakan Banten yang merupakan respon umat Islam
di daerah itu untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan
tanam paksa pada tahun 1836, 1842, 1849, 1880, dan 1888 yang dikenal dengan
pemberontakan petani; dan pemberontakan di Aceh ( 1873-1903) yang dipimpin
antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Cik Ditiro yang membuat Belanda kesulitan
masuk ke Aceh.
Peristiwa 10 November
Pada awalnya kalangan
pesantren melalui kiai dan para santrinya berjuang sendiri-sendiri dalam
melawan penjajah. Perjuangan kalangan pesantren mulai terkoordinir melalui
peristiwa 10 November 1945 yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan.
Meski bangsa Indonesia
telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, tidak semua negara di
dunia mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Belanda dan sekutunya
termasuk yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Belum genap satu bulan
sejak diproklamirkan, terdengar berita bahwa Indonesia sudah mulai diserang
kembali oleh Belanda dan Sekutunya. Pada 10 Oktober 1945 Belanda dan Sekutunya
telah menduduki Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Bandung setelah melalui
pertempuran sengit.
Menghadapi kenyataan ini,
kalangan kiai pesantren segera merencanakan pertemuan diantara para pimpinan
pesantren. Sebagaimana diceritakan K.H. Saifuddin Zuhri dalam Sejarah
Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia (Al-Ma’arif, Bandung 1981),
KH Hasyim Asy’ari memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para
kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau
utusan cabang NU untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor
Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai
baru dapat berkumpul semua. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat
darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim
atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan
Jihad fi Sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad.
Ada tiga poin penting
dalam Resolusi Jihad itu. Pertama, setiap muslim - tua, muda, dan miskin
sekalipun- wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia. Kedua,
pejuang yang mati dalam perang kemerdekaan layak disebut syuhada. Ketiga, warga
Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai pemecah belah persatuan
nasional, maka harus dihukum mati. Bahkan, haram hukumnya mundur ketika kita
berhadapan dengan penjajah dalam radius 94 km (jarak ini disesuaikan dengan
dibolehkannya qashar salat). Di luar radius itu dianggap fardu kifayah
(kewajiban kolektif, bukan fardu ain, kewajiban individu).
Fatwa jihad itu kemudian
digelorakan Bung Tomo lewat radio disertai dengan teriakan Allahu Akbar
sehingga berhasil membangkitkan semangat juang kalangan santri untuk melawan
penjajah.
Para kiai dan santrinya
kemudian banyak yang bergabung ke pasukan nonreguler Sabilillah dan Hizbullah
yang terbentuk sebagai respon langsung atas Resolusi Jihad tersebut. Kelompok
ini kemudian banyak berperan penting dalam peristiwa 10 Nopember. Komandan
tertinggi Sabilillah sendiri adalah K.H. Masykur dan Komandan Tertinggi
Hizbullah adalah Zainul Arifin. Diperkuat juga oleh Barisan Mujahidin yang
dipimpinan langsung oleh Kiai Wahab Hasbullah.
Segera setelah itu,
pesantren-pesantren di Jawa dan Madura menjadi markas pasukan non regular
Hizbullah dan Sabilillah dan tinggal menunggu komando. Pengajian-pengajian
telah berubah menjadi pelatihan menggunakan senjata. Pada detik-detik ini
pesantren-pesantren juga didatangi oleh para pejuang dari berbagai kalangan
untuk minta kesakten kepada para kiai. Tanpa itu para pejuang merasa tidak akan
mampu menghadapi pasukan Belanda dan Sekutu dengan senjata-senjata berat
mereka.
Seperti ditulis M.C.
Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Serambi, Jakarta, 2005),
seruan jihad itu berhasil menggugah dan membangkitkan semangat juang kaum
santri. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya.
Perang yang menewaskan Jenderal Mallaby itu dikenang sebagai salah satu
momentum dari perjuangan kaum santri melawan penjajah.
PESANTREN SAAT INI
Seiring dengan kiat pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pesantren sebagai salah satu
lembaga ikut terkena dampak fenomena tersebut. Pesantren yang pada masa lalu
hanya menyertakan materi-materi agama ‘saja’ sebagai kurikulum belajarnya kini
mulai membuka diri denag menambah materi-materi yang menyangkut kebutuhan hidup
masa kini. Sehingga yang terjadi pesantren mampu menelurka output yang siap
dalam bakti kepada Negara.
Sebagai institusi sosial,
pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara
lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren
umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa alumnus
pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal antara lain:
Dr. Hidayat Nurwahid
(mantan Ketua MPR RI)
KH. Hasyim Muzadi (Ketua
PB Nahdlatul Ulama)
Prof. Nurkholish Madjid
mantan (Rektor Universitas Paramadina)
Dr. Din Syamsuddin
(Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
KH. Abdurrahman Wahid,
salah seorang kyai yang terkenal, adalah mantan Presiden Republik Indonesia. Ia
adalah putra KH. Wahid Hasyim, seorang kyai yang juga tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia dan pernah dua kali menjabat Menteri Agama di Indonesia.Sementara
kakeknya adalah KH. Hasyim Asy'ari, seorang pahlawan nasional Indonesia dan
pendiri Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Namun itu hanyalah potret
dari sedikit alumni, masih banyak alumni yang ditunggu kiprahnya untuk bisa
member konstribusi, tentu tidak hanya untuk agamanya saja , melainkan juga pada
Negaranya yang telah digagas dan diperjuangkannya itu.
Tantangan Pesantren
Peran pesantren mendapat
tantangan dari ideology islam garis keras yang belakangan marak. Pesantren yang
menjunjung nilai-nilai Islam dan demokrasi tentu bertentangan denagn pemahaman
kaum garis keras yang notabene anti khilafiyyah. Mereka berangapan denag system
islam lama-lah berbagai krisis yang melanda dunia bisa diselesaika. Pemahaman
yang frontal menjadi PR bagi kaum pesantren sehingga tidak sampai mubncul
stigma bahwa Islam adalah agama yang menolak ‘negara’.
Kesetiaan kalangan pesantren terhadap visi kebangsaan Indonesia mulai mendapat tantangan serius ketika muncul kalangan Islam garis keras yang mencoba menawarkan Islam sebagai solusi bagi penyelesaian berbagai krisis di Indonesia. Sebagian pesantren sudah mulai tergoda oleh gerakan yang antara membawa gagasan formalisasi syariat Islam. Ini menjadi persoalan karena kalangan pesantren sangat kental dengan ciri moderat, menghargai keberagaman, memandang wahyu dan akal sebagai acuan kebenaran yang saling membutuhkan serta menghagai nilai-nilai tradisi dan budaya lokal. Sementara Islam garis keras cenderung menolak prinsip-prinsip ini.
Pasca reformasi,
eksistensi keindonesiaan memang menghadapi banyak tantangan serius. Dengan
modal sejarah yang gemilang dalam memperjuangkan kemerdekaan, pesantren
mestinya bisa berbuat banyak untuk turut membantu penyelesaian berbagai masalah
kebangsaan. Sayangnya, para pemimpin pesantren yang belakangan marak terlibat
dalam politik praktis tidak banyak yang memiliki visi kebangsaan seperti para
pendahulu mereka. Kita berharap, pesantren melalui para kiai, santri dan
alumninya di masa-masa mendatang dapat memainkan lagi peran kebangsaan seperti
yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Pastinya tak ada pilihan
lain bagi kaum santri selain memperdalam tentang penanaman nasionalisme dengan
dasar pemahaman keislaman yang komprehensif demi terciptanya kehidupan yang
islam, damai dan tentram, aman sentosa. wallahu a’lam.
Komisariat HIMMABA, 21:07
WIB / 19 Oktober 2010
dari berbagai sumber