Semakin lama menjalani hidup, semakin sadar alangkah banyak hal tak
ternilai yang dinugerahkan Tuhan kepadaku. Ditakdirkan lahir dari rahim umik (begitu aku memanggil umikku. dari bahasa arab ummi artinya umikku),
ialah diantara anugerah terbesar yang baru kusadari akhir-akhir ini. Ya
akhir-akhir ini, semenjak ayahku meninggal, semenjak aku bergaul secara
intens bersama beliau, semenjak aku sadar.
Tanpa bermaksud
sombong, banyak diantara teman sekitarku yang mengatakan bahwa aku
merupakan pribadi yang jujur. Akupun menyadari demikian. Namun meki
begitu, amat kuakui betul setelah sesekali merenung bahwa karakter jujur
itu lahir tidak dengan sendirinya, melainkan merupakan bentukan dan
penanaman dari umikku sejak dini. Melalui nasehat-nasehat serta
tauladan yang beliau contohkan, seolah alam bawahku sudah disetting
untuk berlaku jujur dalam berbagai keadaan. meskipun terkesan merugikan
diri sendiri. Tapi kejadian-kejadian berikut ini kiranya menjadi
pondasi-pondasi yang menyatu sehingga sifat jujur bisa kokoh dalam
hidupku.
***
Suatu hari Dinas Pendidikan di
kecamatanku mengadakan lomba pidato tingkat SD/MI dalam rangka
Dirgahayu Kemerdekaan RI ke-50. Umikku kemudian ditunjuk menjadi salah
satu jurinya. Dua minggu sebelum perhelatan berlangsung, salah satu
guruku silaturrahim ke rumah. Beliau ternyata bermaksud memberitahu
umikku bahwa madrasah mempercayai aku sebagai peserta lomba pidato.
Mendengar kabar tersebut, terpancarlah rona bahagia diwajah umikku. Umik
lalu menyanggupi akan melatih aku secara intensif di rumah.
Tiap
malam aku ditempa umikku untuk dapat tampil terbaik saat lomba. Aku
berdiri di atas kasur dan umikku meyimak sambil memegang bantal
ditasnya. Diajarinya aku berbagai teknik, mulai sopan santun, ketegasan
ketika berkata, sampai lagu dan mimik dalam pidato. Umikku sangat sayang
kepadaku, tetapi bukan berarti beliau memanjakanku. Saat latihan, tak
segan-segan umik memarahiku bila apa yang kulakukan tidak sesuai dengan
instruksi yang beliau sampaikan berkali-kali. Namun senyum tulus dan
sanjungan-sanjungan yang belau selingkan dalam tahap-tahap pembelajaran
membuatku tak bosan dan patah semangat kala latihan. Apalagi beliau
menjanjikan akan memberi hadiah bila aku dapat piala dalam lomba
tersebut. Hingga tibalah hari pelaksanaan lomba.
Aku berangkat
bersama guruku dengan kepercayaan diri tinggi. Namun itu tak lama,
betapa terkejutnya saat tahu ternyata peserta lomba kebanyakan kelas V
dan VI. aku yang saat itu kelas III, dari fisiknya saja sudah kelihatan
selisih umurku dengan lainnya. Ternyata di tengah kesumikkannya umikku
tetap perhatian kepadaku. Umik lalu menghampiriku dan bilang “Gak usah
minder fik, yang lain itu sama saja kemampuannya”. Aku lantas kembali
pede. saat tampil aku mengerahkan kemampuan terbaikku, dan sangat yakin
akan meraih kemenangan. apalagi jurinya umikku sendiri pikirku.
Setelah
diumumkan hasil perlombaan, betapa kecewanya, meskipun aku putra dari
salah satu juri ternyata aku bukan salah satu perlombaan ini. Di rumah
aku kemudiaan protes kepada umikku ”mik, saya kok tidak sampean menangkan
tadi? kan umik yang nulis nilanya!”. “Lho, ya nggak boleh kayak gitu
le, umik itu menilai berdasar kemampuan. Sampean tadi sudah buagus kok,
tapi yang lain ada yang lebih bagus. Buktinya sampean kan paling pinter
se sekolahan gitu” jawab beliau dengan tersenyum dan mengelus kepalaku,
lau beliau menyambung “Kalo umik menangkan sampean berarti nanti umik
tidak jujur, kalau tidak jujur nanti yang harusnya juara 1 yang nangis
to? pokoknya anake umik kudu jujur, nek jujur engkok bakale makmur (anaknya ibu harus jujur, karena jujur pangkal makmur)”. Akupun sadar akan kesalahanku kemudian tertidur dalam pelukan umikku.
Hal
iti tidak pernah akau lupakan, betapa beliau menanamkan kejujuran lewat
tindakan yang beliau perbuat. Hingga suatu hari aku menghadapi ulangan
bahasa arab tanpa aku ketahui sebelemnya karena minggu sebelumnya kau
harus ikut lomba pidato tadi. karena tanpa persiapan banyak, akupun
kesulitan untuk mengerjakan, namun berkat tauladan umikku akupun tak mau
untuk sekedar melirik jawaban teman disampingku, yang memang pintar
juga mempersiapkan betul ulangannya. Hingga sampai-sampai pada minggu
berikutnya saat pembagian nilai umik guru memanggilku “taufiqurrohman,
masak utusan lomba pidato nilainya 50, belajar lagi ya nak”. Sontak
seluruh kelas riuh. akupun ngambek hingga pulang ke rumah.
Kala
jam satu, saat ayah umik pulang dari mengajar, aku masih mengurung di
kamar. Sebagai upaya cari perhatianku, aku pun tidak mau membukakan
pintu depan rumah sebagaimana biasa. Hingga akhirnya umik sendiri yang
membukakan pintu depan lewat pintu samping. Mengetahui aku di kamar
dengan wajah murung, umik lalu menghampiriku “Kenapa fik, sakit ta
smpean?” dengan wajah penasaran dan penuh perhatian dipeganglah jidatku
yang memang tak panas. Kugerakkan kepalaku saat beliau memegang dengan,
isyarat kalau aku sedang marah dengan beliau. “Kenapa nak?” aku teatp
diam saja. Beliau kulirik tersenyum ke arahku kemudian meninggalku
sendiri di kamar.
Sepertinya beliau tahu kelemahanku, yang memang
tidak tahan untuk tidak makan di watunya. Setelah beliau mandi dan
sholat, aku yang masih memegang guling dumikjuknya sekali lagi.” ayo
fik, makan yuk” umik tadi dapat ayam dari rapat”. ayok ayok fik makan
bareng ayah” pintanya halus. Akupun takluk. aku lalu bangun dengan wajah
murung tetap aku tampakkan dan tak sedikitpun menghadap umik. Setelah
makan aku lalu ditanya sambil mengelus kepalaku lembut “kenapa adek ada
apa?” aku diam beberapa saat.
Akhirnya tak kuat memendam” katanya
umik jujur itu makmur, saya minggu lalu ujian tidak belajar akhirnya
dapat 50, diketawain teman-teman lagi”. umik lalu tersenyum, kemudian
beranjak ke kamar dan membuka tasku yang memang masih berserakan sejak
pulang rttadi. sambil diperlihatkan nilaiku beliau bilang “Jujur itu
bapaknya pak makmur le. dadi kalo bapak tua baru lahir anaknya. kalau
upik tidak jujur, nanti 100 nya jadi nol. kalau jujur 50 itu nilanya 100
nanti anaknya” sambil ekspresi lucu beliau mengatakannya. aku pun
tersenyum mendengar nasihat umik yang lucu tapi mengena itu.
***
Hingga
saat ini aku terbiasa untuk selalu jujur dalam mencapai apapun. bagiku,
dalam tindakannya tersirat nasehat yang sampai saat ini sangat melekat,
“Lebih baik memilih gagal dalm mencapai sesuatu daripada mampu
mencapainya tapi harus tidak jujur”.
Kini usiaku sudah 24 tahun,
selain mengajar aku juga melanjutkan studi pascasarjana jurusan bahasa
arab di salah satu kampus negeri di Jawa Timur. Semakin banyak fenomena
yang kudapat disekitar, sekalipiun dunia akademik, betapa iklim
ketidakjujuran sungguh menjamur dalam kehidupan. seolah adagium ‘jujur
ajur’ benar-benar menjadi realita tak terelakkan bial memahami dengan
dangkal. aku berharap tidak masuk dalam lingkaran setan itu, dengan
menjaga dan tak menebang pohon kejujuran yang telah dibibitkan umik
kepadaku sejak aku masih belum bisa membaca dulu. sebagaimana umikku
bilang “jujur pangkal makmur nak”. Benar sekali apa yang telah diajarkan
guruku bahwa kasih umik itu ‘kaanna syamsa tunawwiru dunyaya’(bagai
sang surya menyinari dunia). yang mana menyinari tak hanya berarti
‘waktunya tanpa batas’, tetapi menyinari juga berarti ‘memberi
pencerahan dalam gelap perjalanan kehidupan. syukron, mik!
*Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Blog Nutrisi Untuk Bangsa 2013
... dan kurang beruntung