KITA SATU WAJAH,INDONESIA!

Tidak sedikit warga negara kita yang merasa menyesal kenapa dulu ditakdirkan Tuhan dilahirkan di Indonesia. Mereka yang berfikir semacam itu, sebagian membayangkan, “Andai aku dilahirkan di Jerman, mungkin aku sudah jadi ilmuwan besar sekarang”. Sebagian lagi membayangkan, “Andai saja aku dilahirkan di Amerika, mungkin aku sudah jadi pengusaha yang berpengaruh dijagat”. Bahkan ada juga yang membayangkan, “Andai aku dulu dilahirkan di Brazil, mungkin aku sudah jadi pemain sepak bola dunia sekarang”. Mereka merasa bahwa ketertinggalan atau ketidaksuksesan yang mereka dapatkan karena kurang maju dan carut marutnya Indonesia. Mereka sangat tidak bangga menjadi warga Indonesia. Efeknya orang yang semacam ini seringkali menerima mentah-mentah tanpa kajian kritis terhadap pendapat dan inovasi asing. Sebaliknya terhadap inovasi warga negeri sendiri, orang tersebut meremehkan.


Di lain sisi ada saudara kita yang overconfident terhadap negeri kita tercinta ini. Mereka yang seperti ini seringkali membanggakan negaranya dengan sentimen dan curiga terhadap negeri asing. Meraka tidak mau literatur-literatur asing satupun masuk dalam kurikulum belajar dan etika kehidupan mereka. Mereka beranggapan bahwa semua yang datang dari luar itu buruk dan tak bermoral. Opini tersebut digeneralisasi dalam berbagai hal, sehingga mereka menuhankan lokalitas secara berlebihan. Orang semacam ini sangat antipati terhadap apapun yang berbau ‘asing’, walaupun itu benar dan baik.

Kelompok pertama yang saya uraikan diatas adalah mewakili generasi bangsa yang sudah sangat mengenal dengan budaya luar. Merka merasa Indonesia tidak mungkin bisa untuk bersaing dengan negara lain. Sedang kelompok kedua adalah prototipe masyarakat kita yang fanatik terhadap negaranya karena kurangnya mengakses terhadap perkembangan di luar. Apa yang mereka ekspresikan tidak saya vonis salah. Hanya saja, perlu adanya sikap penyeimbang sehingga bisa berdampak positif terhadap negara kita tercinta.

Bumi nusantara yang penuh pesona ini memang sangat aneka ragam. Terdiri dari 1340 suku bangsa yang tinggal di 17.504 pulau membuat negeri kita akrab dengan perbedaan. Namun bukan berarti perbedaan lantas tidak bisa disatukan. Termasuk terhadap kelompok yang berseberangan dalam penyikapan terhadap negaranya tadi. Apalagi ada dua variabel yang sama yang mendasari, yaitu negara dan cinta.

Saya yakin kedua kelompok ini lahir atas dasar cinta, hanya saja pengungkapannya berbeda. Yang satu walau terkesan tidak punya percaya diri terhadap negaranya, namun karena saking cintanya sehingga dia marah-marah terhadap negaranya karena tertinggal jauh dari negara lain. Kalu tidak cinta buat apa harus berpayah mengkritik negaranya. Sedang yang satunya walau terkesan menutup mata dari peradaban sekitar, mereka ekspresikan cintanya dengan fanatisme dan menuhankan negeri sendiri. Jelas ini cinta, walau berlebihan.

Sekarang coba kita semua berfikir bahwa kita ‘sama-sama’ warga Indonesia. Okelah kalau kita merasa marah sangat marah kalau bendera kita diinjak orang, mengatakan bahwa ‘asing’ itu virus. Sah sah saja kalu umpama kita merasa kita benar-benar tertinggal jauh oleh negara lain, tak mungkin untuk sekedar menyamai. Namun kalau kita (saya, kelompok pertama, kelompok kedua dan seluruh indonesia) hanya berhentipada anggapan tersebut, apakah lantas bisa menuntaskan segala persoalan di negara kita? Bisakah memberikan sumbangsih kemajuan terhadap bangsa kita?

Bagi kelompok kedua yang fanatis, mari gunakan cermin untuk melihat wajah negara kita. Cermin yang kita pakai tentu saja bukan bagian dari kita sendiri. Kita butuh cermin dari kemajuan yang dicapai oleh negara atau bangsa lain. Sedang bagi kelompok pertama yang kecewa, mari kita sadari bahwa kita seluruh rakyat  indonesia adalah satu wajah. Jika ada yang luka di wajah kita, mari bersama-sama merawatnya agar sembuh dan tampak baik lagi. Bukan kemudian lari mengabdi kepada negeri lain dan menghujat negara kita sendiri. Banggalah menjadi Indonesia, banggakanlah Indonesia. Wallahu A’lam.

* Tulisan ini juga saya posting di situs komunitas, kompasiana

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »