Pakdeku adalah diantara
segelintir orang yang menurutku paling sering dibicarakan di belakang oleh
tetangga dan saudara-saudaraku. Pensiunan pegawai negeri golongan III, banyak
menghabiskan waktunya hanya dengan jalan-jalan kemudian ngobrol-ngobrol dengan
tetangga. Kalau sekedar itu mungkin orang tidak masalah. Beliau cenderung
melangit bila berbicara, sering sekali menceritakan dan mengklaim telah
melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah beliau lakukan, omong kosong
lebih mudahnya. Hal itulah yang lantas membuat banyak orang memandang sebelah
mata Pakdeku.
Tapi hal itu tidak berlagu bagiku. Saat itu usiaku 15 tahun, aku merasa Pakdeku adalah orang yang sangat berarti bagi kehidupanku. Sejak kecil aku banyak menghabiskan waktu bersamanya. Yang kurasakan selalu menyenangkan. Apa yang beliau kerjakan selama bergaul denganku telah memberikan banyak inspirasi bagi kehidupan selanjutnya.
Yang paling kusuka adalah
saat di langgar, sebutan kami untuk musholla. Di langgar Pakde adalah partner
setiaku bersama mbah dan bude. Bila mbah dan bude adalah jamaah wanita yang
selalu mengawali datang ke langgar, maka aku dan Pakde adalah partner bedug dan
adzan. Sejak usia 7 tahun, atas dorongan pakde aku sudah berani adzan di
michropone. Pakdeku yang kurang fasih mengucapkan lafadz arab tidak mau adzan.
Beliau selau menyuruhku untuk adzan. Bila 5 menit sebelum adzan aku belum ada,
maka beliau selalu menyuruh orang untuk memanggilku bahkan langsung menyusulku.
Apa yang dilakukan Pakde tersebut memunculkan rasa percayaan diri, karena
merasa dibutuhkan.
***
Hingga pada suatu maghrib,
sesaat setelah adzan Pakdeku bilang Fiq, nanti habis isya adzan ya?! InsyaAllah
Pakde, saya rencana ikut dzibaan soalnya. Tidak sempat beliau menanggapi, aku
terburu membaca sholawat sebelum iqomah.
Habis maghrib aku makan
bersama ibu. Selesai makan aku bertanya, Bu, gimana ini? saya pengen ikut
dzibaan, tapi Pakde suruh adzan isya, Ow ya ikut dzibaan aja dulu, nanti
menjelang adzan pergi ke langgar, tempatnya kan tidak jauh dari langgar?! jawab
ibu dengan bijak. nggeh pun sambil senyum. Aku pun lalu berangkat ke tempat
dzibaan dengan niatan seperti yang diusulkan ibu.
Karena sudah setingkat
SLTP maka aku berposisi di depan, bertugas membaca bacaan dziba. Saat aku
datang masih ada dua orang senior, biasanya ada sekitar 7-10 orang. Akupun
mengikuti dzibaan dengan khusyu dan sesekali mengingatkan yang guyon sendiri.
Hingga 20 menit berselang tidak kulihat batang hidung kawan senior lainnya.
Kemana teman-teman kok belum datang? tanyaku pada Fendik, senior di jamiyyah
ini. Dapat undangan acara nikah, jadi nggak ikut. Mendengar hal itu aku pun
lalu memutuskan untuk mengcancel jadwalku adzan ke langgar. sekali-sekali gak
adzan, kan masih ada esok, biar Pakde saja.
15 menit berselang, ada
suara sepeda motor datang ke depan rumah Doni. pik.. upik ..dicari Tosim! agak
kaget sedikit, aku sedang menyimak bacaan dziba saat itu. Ternyata mencari aku,
tanpa sempat berkata Tosim mengajakku ke luar dicari Pakde kamu fiq, aku
disuruh jemput MasyaAllah Pakde iki mesti, kayak tidak ada orang lain saja. Aku
pun lalu digoceng Tosim menuju langgar. Di atas sepeda kudehem-dehemkan
tenggorokanku, persiapan adzan.
Kudengar sayup bersahutan
adzan dari masjid dan langgar lain ketika akan sampai. Sekilas tidak terlihat
Pakde di depan bedug sepeti biasanya. Diluar dugaan, Tosim tenyata membelokkan
sepedanya ke arah rumah Pakde dibelakang langgar. Loh, kok lewat sini? tanyaku.
Aku langsung menuju rumah Pakde yang sudah berkerumun saudara-saudaraku.
Kulihat ibu di depan kamar Pakde. Di depan paman-paman dan bibi-bibiku,
terlihat jasad Pakde dengan pakaian saat magrib tadi. Aku menangis, namun
terkesiap ketika ingat sesuatu. Bersahutan terdengar tadi meninggalnya saat
setelah wiridan di langgar jatuh didepan pintu dan saat dipegang istrinya dan
suara-suara lain yang tak kupedulikan. Kuambil air wudlu, kemudian kulantunkan
adzan di langgar, tanpa bedug, tanpa Pakde. Aku tidak ingin melanggar janji
terakhirku pada Pakde.
***
Terkadang seseorang yang
kita anggap bukan apa-apa, bisa jadi dia adalah segalanya bagi orang lain.
* Tulisan ini
diikutsertakan dalam lomba menulis inspirasi 2013 oleh Inspirasi.co
... dan alhamdulillah kurang beruntung :-)